Sabtu, 13 November 2010

Tambang Boleh Mengganggu Kehidupan Warga, Warga Tidak Boleh Mengganggu Tambang



Jangankan Penjara, sampai matipun saya tidak akan rela menyerahkan tanah saya. Seharusnya pemerintah berpihak kepada rakyat kecil, bukan malah ditangkap dan ditahan seperti ini. Saya salah apa, saya hanya mempertahankan hak saya. Suami saya di rantau, anak saya masih kecil-kecil. kalau saya dipenjara, siapa yang mau kasih makan mereka.

(Wa Ode Hanasia, pada saat pertemuan para tahanan dengan Wakil Ketua Komnas di ruang rapat Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Bau-Bau pada 8 Juni 2010 pukul 14.15)


Mayoritas rakyat Kecamatan Talaga hidup sebagai nelayan. Namun daerah mereka ditetapkan Pemerintah Kabupaten Buton sebagai pusat kegiatan pertambangan, industri dan kegiatan penangkapan ikan dan budidaya perairan. Hal kontradiktif dalam kecamatan seluas 71,31 Km2 dengan 10.091 jiwa tersebar di 5 (lima) Desa. Hampir 90 persen penduduk Kecamatan Talaga pernah bekerja sebagai buruh migran, mengindikasikan daya dukung alam terhadap kehidupan mereka terbatas. Terlebih lagi bila pertambangan harus masuk.

Konflik tambang dengan warga sekitar pun hanya menunggu waktu. Dan itu berpuncak pada 17 Mei 2010. Setelah aksi warga sebanyak dua ribu orang pada 16 Mei menuntut dialog dengan perusahaan tidak memuaskan warga, esoknya warga berjumlah seratus orang diperhadapkan dengan preman. Massa melawan dan berujung pengrusakan sejumlah fasilitas camp perusahaan.
Cerita ini berawal saat PT. Arga Morini Indah (AMI) melakukan eksplorasi, dilanjutkan eksploitasi sejak 2007 sampai sekarang. Warga resah karena tanah dan tanaman mereka dijadikan kawasan tambang nikel. Lokasi kuasa pertambangan eksploitasi PT. AMI, berada di atas tanah warga warga Talaga seluas 2.000 Ha. Digunakan warga sebagai tempat bercocok tanam. Kawasan pertambangan ini pula satu-satunya sumber air bersih warga Talaga.

Konflik telah terjadi sejak tahun 2008. Warga melakukan demonstransi menentang masuknya PT. AMI. Namun perlahan warga menerima kehadiran PT. AMI dengan beberapa syarat, diantaranya: Pembayaran ganti rugi lahan sebesar Rp. 5.000/Meter2, ganti rugi tanaman sebesar Rp. 500.000/pohon, dan penerimaan tenaga kerja dari warga Talaga.

Namun PT AMI tidak menghormati kesepakatan dengan warga warga yang telah memberikan toleransi dan menanggu kehidupan yang telah terganggu. Sampai Agustus 2010, dari 142 orang pemilik lahan, baru 42 orang yang telah dibayarkan ganti rugi. Perusahaan pun membuat mekanisme kompensasi baru. Warga diberikan pilihan antara memilih pergantian lahan, atau ganti rugi tanaman. Sebanyak 42 warga yang telah terdesak kebutuhan hidup mengambil pilihan tersebut. Yang lainnya, tetap berusaha kepada kesepakatan awal. Ironisnya, ganti rugi tanah mengalami penurunan harga, dari Rp. 5.000/M2, turun menjadi Rp. 2.500/ M2.

Tidak ada dukungan Pemerintah bagi perjuangan warga. PT. AMI menitipkan dana Community Development kepada Pemerintah Kabupaten Buton. Warga tidak diberikan dana dalam bentuk uang tunai. Pemerintah mungkin beranggapan warga belum bijak dalam membelanjakan uang. Warga justru diberikan bantuan dalam bentuk beras miskin. Suatu kebijakan rentan korupsi.

Belum selesai persoalan ganti rugi, ditengah proses penambangan justru timbul persoalan lain. Budidaya rumput laut sebanyak 100 kepala keluarga mengalami kegagalan panen setiap tahun.Akibat limbah tambang langsung mengalir ke laut. Kondisi topografi berbukit-bukit dengan ketinggian sampai 100 meter di atas permukaan laut, menyebabkan air limbah tambang berlumpur langsung mengalir ke laut sangat lancar, tepat di areal budidaya nelayan-nelayan Talaga.

Warga Talaga terjepit. Tanah sebagian telah diakuisisi AMI dengan sokongan penuh pemerintah daerah dan aparat keamanan. Laut sudah dipenuhi lumpur-lumpur pertambangan. Bahkan jika hendak menangkap ikan mereka harus mengayuh sampai 2 mil laut, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Pasal Kontroversial
Kejaksaan menggunakan pasal kontroversial dalam Undang-undang no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Indonesia, 2009 yang sedang diperjuangkan oleh WALHI dan sejumlah organisasi non pemerintah dan warga sekitar tambang untuk ditinjau oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal 162 menyatakan, setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan yang telah memenuhi syarat-syarat, dipidana dengan kurungan paling lama satu tahun, atau denda paling banyak seratus juta rupiah. Dengan begitu, diskusi dampak lingkungan oleh tambang atau demonstrasi damai bisa ditafsirkan mengganggu pertambangan yang telah memiliki ijin.

Sonny Keraf, mantan anggota DPR, terlibat langsung dalam pembuatan undang-undang ini, dalam sebuah diskusi dengan WALHI menyatakan pasal ini tidak dimaksudkan meluas mengenai siapa saja yang kritis atas menolak tambang. Hanya berlaku buat mereka yang telah melepas lahan, namun masih mengganggu tambang atas alasan tentang tanah tersebut. Namun, pernyataan Sonny tidak ada dalam penjelasan undang-undang tersebut.

Dalam dakwaannya, jaksa penuntut umum menyatakan “Ketika perusahaan PT. AMI selaku pemegang izin usaha pertambangan nikel di Desa Wulu Kecamatan Talaga Raya Kabupaten Buton dan telah mendapat persetujuan dari Menteri Kehutanan dan Bupati Buton untuk melaksanakan kegiatan penambangan, sedang melakukan aktivitas pertambangan berupa pengapalan ore nikel di dermaga PT AMI, 15 Mei 2020, para terdakwa bersama massa pengunjuk rasa datang memaksa menghentikan kegiatan PT MAI tersebut, degan naik ke atas kapal tongkang, dan kemudian memaksa menurunkan yang sedang beroperasi dari atas tongkangnya.Memblokir jalan dengan menumpuk batu-batu di tengah jalan dengan maksud agar mobil-mobil perusahaan tidak bisa lewat, serta memasang papan dan mendirikan tenda di dermaga serta menduduki /berada di tenda tersebut agar kegiatan pengapalan ore nikel tidak terlaksana. PT AMI tidak dapat melaksakan aktivitas pertambangan selama beberpa hari.”

Sementara itu kehidupan warga telah terganggu berbulan-bulan, dalam tiga tahun terakhir semenjak PT. AMI beroperasi. Dan akan masih terus terganggu karena operasi tambang tetap berjalan. Sebab tambang boleh mengganggu warga yang telah hidup di ruang mereka sejak masa yang lama, bahkan mereka tidak ingat lagi; tapi warga tidak boleh mengganggu pertambangan yang telah berijin (lengkap), masuk ke lingkungan mereka dalam waktu kurang satu dekade terakhir.

Kamis, 07 Agustus 2008

Warisan Orde Baru dalam Pertambangan: Mengundang Modal Memperkosa Alam

Palang-palang penghambat modal asing itu dihapuskan oleh pemerintahan Soeharto. Setelah menghilangkan kekuatan politik yang tidak bersahabat dengan modal, agenda selanjutnya adalah menghapus regulasi penghambat. Beberapa saat sebelum kejatuhannya, pemerintahan Sukarno mengeluarkan Undang-undang (UU) No.16 Tahun 1965, dalam salah satu pertimbangannya menyatakan “bahwa penanaman modal asing di Indonesia, yang bagaimanapun juga adalah bersifat menarik keuntungan sebanyak-banyaknya dan dengan demikian menjalankan terus menerus penghisapan atas rakyat Indonesia, serta menghambat jalannya Revolusi Indonesia dalam menyelesaikan tahap nasional demokratis untuk mewujudkan Sosialisme Indonesia berdasarkan Pancasila”. Seperti siang berganti malam, regulasi ini digantikan dengan UU Penanaman Modal Asing No 1 Tahun 1967, yang membukakan pintu bagi masuknya modal asing kembali. Masih bertanda-tangan Soekarno, tertanggal 10 Januari 1967, namun penguasa Orde Baru secara riil telah mengendalikan arah kebijakan negara semenjak 11 Maret 1966. Undang-undang penarikan diri dari Dana Moneter Internasional (IMF) – salah satu pertimbangannya menyatakan IMF dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) merupakan konsentrasi kapital dari kaum neo-kolonialis dan imperialis yang mengutamakan kepentingan golongannya dari pada anggota-anggotanya yang termasuk negara-negara yang baru merdeka dan belum berkembang ekonominya – digantikan dengan UU No 9 Tahun 1966 tentang masuknya kembali Indonesia menjadi anggota IMF dan IBRD.

Dalam bidang pertambangan, UU Prp 37 tahun 1960 yang menetapkan bidang tambang tertutup bagi modal asing, dinyatakan tidak berlaku lagi; digantikan oleh UU No 11 Tahun 1967 yang membukakan pertambangan bagi modal asing.

Segera setelah Suharto mengkonsolidasikan kekuataannya, sebuah delegasi dikirim menghadiri sebuah konferensi luar biasa di Jenewa, bernama “To Aid in the Rebuilding of A Nation”, November 1967. Delegasi pemerintah Orde Baru menghadap partisipan kapitalis yang paling berkuasa, dipimpin oleh David Rockefeller. Selama tiga hari, ekonomi Indonesia dibagi-bagi, sektor demi sektor. Sebuah konsorsium Amerika dan Jepang menguasai nikel Papua, perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang, Perancis mendapatkan hutan. (John Pilger, 2002). Namun sebelum itu, yang terbesar diantaranya adalah sebuah pengunungan tembaga dan emas, telah jatuh kepada perusahaan pertambangan Amerika Serikat (AS), Freeport-Mc Moran, dimana Henry Kissinger, mantan menteri luar negeri Amerika Serikat, kemudian menjadi salah satu petingginya.

Pemberian terbesar bagi Investor

Lalu mulailah angan-angan mencapai kemakmuran lewat pembangunan itu dijalankan. Eksplorasi penambangan Ertsberg dimulai pada Desember 1967. Secara resmi dibuka oleh Soeharto pada Maret 1973. Kawasan Ertsberg selesai ditambang pada tahun 1980-an dengan mewariskan lubang sedalam 360 meter. Sejak tahun 1988, PT Freeport mulai mengeruk cadangan lainnya, Grasberg. Pada tahun 2005 telah menimbulkan lubang utama bergaris-tengah 2,4 km, meliputi daerah seluas 449 ha, dengan kedalaman 800m. Diperkirakan sebanyak 18 juta ton cadangan tembaga, 1.430 ton cadangan emas akan dikeruk hingga penutupan tambang 2041.

Namun hal itu disertai dengan konsekuensinya kerusakan lingkungan yang besar. Hingga tahun 2005, limbah batuan dan tailing (limbah tambang berbentuk lumpur dari proses pengolahan bijih) yang dibuang oleh PT.Freeport Indonesia mencapai 2 milyar ton. Sejak tahun 1995, limbah tailing sebanyak 100 ribu ton hingga 220 ribu ton dibuang setiap harinya.

Kehidupan masyarakat di sekitar lokasi yang sangat tergantung kepada kemurahan alam, menjadi terganggu. Ruang penghidupan suku-suku yang terdapat di pengunungan tengah Papua bertambah sempit. Muara Sungai Ajkwa yang memiliki nilai ekonomi penting bagi penduduk lokal hancur akibat timbunan tailing. Pengujian atas contoh-contoh tanaman lokal yang tumbuh kembali di atas tailing menunjukkan tingginya kadar beberapa racun logam seperti Selenium, Pb, Arsen, seng, mangan, dan tembaga.

Penduduk pun beralih dari pekerjaan semula ke pekerjaan beresiko tinggi, yakni mengais emas di lokasi pembuangan tailing PT FI. Konflik pun mewarnai hubungan antara PT FI dengan warga sekitar. Sebagian besar jalur penyelesaiannya adalah lewat pembunuhan dan kekerasan, bukan pengadilan. Sepanjang tahun 1994-1995 saja, tercatat terjadi pembunuhan terhadap 44 orang dalam beberapa kejadian.

Warisan Soeharto, menyelesaikan permasalahan dengan kekerasan, terus terjadi setelah reformasi. Pada tahun 2006, aksi penertiban berhadapan perlawanan warga. PT FI terpaksa menghentikan operasinya; di pihak lain, sebanyak 20 hingga 36 warga meninggal karena terseret banjir dan tertimpa longsor, dalam upaya melarikan diri dari penertiban Brimob pengawal PT FI.

Bila Richard Nixon, Presiden AS, pernah mengungkapkan Indonesia adalah hadiah terbesar di Asia Tenggara, maka kekayaan mineral di kawasan Pegunungan Tengah Papua ini mungkin menjadi pemberian terbesar pemerintahan Orde Baru bagi investor asing. Sebaliknya, penduduk asli menilai kekayaan alam itu telah menjadi kutukan. Kantong-kantong kemiskinan berada di kawasan konsesi pertambangan PT.FI, mencapai angka diatas 35%. Meskipun Produk Domestik Bruto (PDB) Papua Barat menempati peringkat ke 3 dari 30 propinsi di Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia Papua (memuat kriteria angka kematian ibu hamil dan balita karena kekurangan gizi) berada di urutan 29, data tahun 2005, tidak kunjung membaik dibandingkan dengan peringkat tahun 27 pada tahun 1999.

Memanjakan investasi dengan lemahnya kebijakan lingkungan hidup

Kemurahan bagi investor juga tampak dalam perlakuan pemerintah terhadap PT. Newmont Minahasa Raya. Kontrak Karya (KK) PT NMR disetujui tanggal 6 November 1986, oleh Presiden Soeharto, bersamaan dengan 33 naskah kontrak karya lainnya. Wilayah konsensi dalam Konrak Karya meliputi 527.448 hektar di Desa Ratotok, Kecamatan Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Garapan PT.NMR menduduki peringkat ke 6 terbesar di Indonesia dengan total cadangan emas sekitar 65 ton. Setelah memperoleh emas, sebanyak 2.000 ton tailing disalurkan ke dasar perairan Teluk Buyat. Ameriksa Serikat, negeri asal perusahaan ini tidak mengijinkan pembuangan tailing ke laut. Toleransi pembuangan tailing ke laut dengan syarat ditimbun dibawah lapisan termoklin, sebuah karakteristik lapisan air laut pada kedalaman tertentu yang diharapkan bisa menahan massa tailing tidak menyebar, ternyata belum cukup. Akibatnya, limbah itu menyebar dan mencemari wilayah Teluk Buyat.

Jika saja pipa pembuangan tersebut dibuat beberapa mil lebih panjang, maka limbah akan tertumpuk di laut dalam, dan mengurangi secara drastis potensi pencemaran, kata Jim Kuiper, seorang konsultan teknik (www.motherjones.com). Metode tersebut menelan biaya setidaknya $15 juta, Dan, Newmont Minahasa Raya memilih untuk tidak melakukannya.

Pencemaran itu membuat lahan pencarian masyarakat terganggu. Ikan-ikan ekonomis bagi warga berhilangan, dan beberapa hasil tangkapan menampilkan ciri-ciri keracunan logam berat.

Hal kontroversial itu terjaga selama masa pemerintahan Soeharto dan tidak menjadi perhatian luas. Pada masa Orde Baru, persetujuan Amdal perusahaan tambang lebih ditentukan oleh Departemen Pertambangan dan Energi. Amdal sebagai palang pintu agar tidak terjadi pencemaran dengan mensyaratkan penerapan sistem dan teknologi yang ramah lingkungan, tidak bisa menjadi jaminan bagi operasi yang memperhatikan lingkungan. “Kami tidak bisa ngomong banyak soal Amdal dari kontrak karya perusahaan tahun 1980-an. Pada masa itu, boro-boro kami bisa intervensi," kata Imam Hendargo Abu Ismoyo, dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Keadaan berubah setelah Soeharto tidak berkuasa. Penetapan Komisi Amdal satu pintu di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup, ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut mensyaratkan penanggung jawab usaha yang melakukan pembuangan ke laut wajib harus mendapat izin Menteri Lingkungan Hidup. PT NMR pun tidak terkecuali. Hingga tambang NMR berhenti beroperasi tahun 2004, perusahaaan tersebut tidak kunjung memperoleh izin itu karena Ecological Risk Assessment (ERA) yang dibuat tidak memadai.

Di samping membuang tailing ke laut, Newmont Minahasa Raya juga melepas merkuri ke udara. Jumlahnya sekitar 17 ton sepanjang tahun 1996 hingga 2001 (NYT,22/12/04); atau setara dengan yang buangan 15 buah hingga 20 buah PLTU berbahan bakar batu bara, kata Glenn Miller, ahli merkuri dari University of Nevada. Kejadian tersebut terjadi dibawah pengawasan yang tidak efektif dari pemerintah. Petugas pengawas dari DESDM (sebelumnya Departemen Pertambangan dan Energi) bahkan tidak tahu menahu tentang pembuangan merkuri, sebagaimana dia ungkapkan di PN Jakarta Selatan.

Penambangan emas meninggalkan lubang-lubang, terluas diantaranya mencapai 5 kali lapangan sepak bola, dengan kedalaman 135 m. Lubang paling besar itu tidak akan ditutup, karena tidak ada keharusan bagi perusahaan menutupnya, demikian pernyataan salah satu staf perusahaan (Kompas, 7/12/07).

Sejarah berulang di tengah lingkungan makin parah

Pemerintahan Soeharto mengundang modal dengan memberikan banyak kemudahan. Di awal kekuasaannya, demi membangun kekuatan ekonomi politiknya, Soeharto merelakan Freeport membuat kontrak setelah usulan kontrak dari pemerintah ditolak oleh perusahan tersebut. Paska reformasi, dengan krisis ekonomi yang masih terus terjadi, cadangan devisi negara yang banyak terkuras membayar hutang warisan Orde Baru, maka pemerintahan yang ada makin nekad dalam mengobral sumber daya alam bagi investasi.

Maka konflik perusahaan pertambangan dengan masyarakat yang terdesak ruang hidupnya terus terjadi. PT. Nusa Halmahera Mineral melakukan penebangan di hutan lindung Toguraci, konfliknya dengan warga berekses pada kematian Rusli Tungkapi (salah seorang warga) akibat ditembak Brimob; Warga Dayak Paser terpaksa pindah kampung, tergusur tambang batu bara Kideco Jaya Agung; Aurora Gold dari Australia, mencemari lingkungan, melanggar HAM dan, merampas tanah dan tambang rakyat (suku Dayak Siang, Murung, Bakumpai di Kalimantan Tengah) adalah beberapa diantaranya.

Sungguh, dampak industri pertambangan terhadap lingkungan telah menimbulkan biaya mahal selama 32 tahun pembangunan Orde Baru. Sumber daya alam yang tercipta lewat proses alam jutaan tahun dikuras dalam waktu puluhan tahun menjadi keuntungan perusahaan tambang, meninggalkan persoalan lingkungan yang besar, kini dan masa yang akan datang. Ongkos yang timbul dari degradasi tanah, tercemarnya perairan, polusi udara tidak pernah menjadi biaya variabel bagi perusahaan.

Sejarah terulang, dan menimbulkan kecemasan dan penderitaan. Setelah pemerintahan Orde Baru, selanjutnya pemerintahan Megawati mengeluarkan Perpu No.1/2004, memperbolehkan 13 perusahaan tambang menambang di kawasan hutan lindung; kini Pemerintahan SBY mengeluarkan PP No.2 Tahun 2007, yang lebih ekstensif dari Perpu di atas.

Kita membutuhkan paradigma baru tentang tata pemerintahan serta sistem ekonomi baru yang tidak mengejar pertumbuhan, namun memperhatikan keberlangsungan kehidupan. Bisakah sumber daya alam dikelola secara demokratis melibatkan partisipasi masyarakat? Mengapa tidak melakukan penentuan pendapat (referendum) bagi masyarakat yang terkena dampak sebuah pertambangan yang bakal dibuka? (pius ginting)

***